Riwayat hidup Hamzah Fansuri hingga kini masih diselimuti misteri. Tidak ada catatan pasti yang menyebutkan kapan dan di mana tokoh besar ini dilahirkan maupun wafat. Meski begitu, namanya harum sebagai seorang sufi dan sastrawan ulung yang pengaruhnya meluas ke seantero Nusantara, terutama di abad ke-17. Keberadaannya begitu penting hingga membuat banyak pihak bertanya-tanya, mengapa sejarah resmi Aceh, termasuk dalam Hikayat Aceh, tak mencantumkan nama Hamzah Fansuri di dalamnya.
Diyakini bahwa Hamzah Fansuri berasal dari sebuah daerah tua di pantai barat Sumatra bernama Barus. Nama Barus sendiri sejak lama dikenal sebagai bandar dagang dan pelabuhan kuno yang menjadi persinggahan para pedagang Arab, Persia, dan Gujarat. Dari tempat inilah Hamzah Fansuri disebut-sebut berasal, dan di sana pula lahir dialek Melayu Barus yang kemudian berkembang menjadi salah satu ragam bahasa Melayu tertua di Nusantara.
Secara garis keturunan, Hamzah Fansuri disebut masih terhubung dengan ulama-ulama Persia yang datang ke Sumatra pada masa Kerajaan Samudra Pasai. Saat itu orang Persia sering berdagang lintas kawasan sehingga secara turun temurun keluarganya ada di Barus, Aceh Singkil, Siam (Thailand sekarang), India dan Timur Tengah.
Salah seorang leluhurnya, Syekh Al-Fansuri, dipercaya memimpin sebuah pusat pendidikan Islam di kawasan Blang Pria. Garis keturunan inilah yang membuat nama "Fansuri" melekat di belakang namanya, sebagai penanda asal-usul keluarga yang berasal dari Parsia.
Sebagai info tambahan, nama-nama Kesultanan Barus juga menggunakan nama Fansur yang kadang ditulis Fansu. Teuku Raja Batak yang terkenal di Kerajaan Trumon memiliki nama asli Teuku Raja Fansuri Alamsyah.
Dalam masa ini pula, Trumon meraih kejayaannya hingga berhasil mencetak mata uang sendiri sebagai alat tukar yang sah dan Benteng Kuta Batee didirikan.
Saat Aceh dan Barus berkoalisi dengan Siam melawan Tiongkok, ayah Syeikh Hamzah, yakni Syekh Ismail Aceh, pernah menjadi gubernur di Kota Sri Banoi, menggantikan Wan Ismail asal Patani yang mengundurkan diri karena usia tua.
Namun sayangnya Syeikh Ismail yang bertempur bersama Wan Ismail dan Po Rome atau Po Ibrahim (1637–1687 M) gugur dalam pertempuran melawan orang Yuwun (Annam/Vietnam) di Phanrang, menurut Drs. Abdur Rahman al-Ahmadi dalam sebuah makalah.
Sebagai catatan, Po Rome (†1651), juga dieja Po Romê, Po Romé, atau Po Ramo, dengan nama Muslim yang diduga adalah Nik Mustafa bin Wan Abul Muzaffar Waliyullah, serta nama gelar pemerintahannya Sultan Abdul Hamid Syah, adalah raja Panduranga Champa, yang memerintah dari tahun 1627 hingga 1651.
Sementara Po Ibrahim/Po Brohim atau Po Nraup (†1653), juga dieja Po Nrop, diduga memiliki nama Muslim Sultan Nik Ibrahim bin Nik Mustafa, alias Po Brohim, adalah raja Panduranga Champa yang memerintah dari tahun 1652 hingga 1653. Dalam catatan sejarah Vietnam, ia disebut sebagai Bà Thấm atau Bà Tấm. Masa pemerintahannya yang singkat ditandai oleh perang besar yang menghancurkan dengan Vietnam selatan, yang menyebabkan Champa kehilangan setengah dari wilayahnya.
Keluarga Hamzah Fansuri diperkirakan kembali hijrah ke Barus, Tapanuli Tengah setelah itu.
Pada masa pemerintahan Sultan Aceh Darussalam, Alaiddin Riayat Syah Saidil Mukammil, putra Syeikh Ismail, yang sudah pulang kuliah dari berbagai negera, Syekh Ali Fansuri dan Syekh Hamzah Fansuri mendirikan pusat-pusat pendidikan Islam di wilayah pantai barat Aceh. Syekh Ali Fansuri, membuka Dayah Lipat Kajang di Simpang Kanan, sementara adiknya, Hamzah Fansuri, mendirikan Dayah Oboh di Simpang Kiri Rundeng. Syeikh Ali Fansuri pernah bermukim di Pakpak Bharat sekarang dan merupakan ayahanda dari Syeikh Abd Rauf Al Fansuri atau Al Singkily.
Kiprah Hamzah Fansuri sebagai sufi dan sastrawan bukan hanya dikenal di Aceh, melainkan juga di berbagai negeri yang pernah ia singgahi. Ia disebut pernah menimba ilmu di Baghdad, pusat penyebaran tarekat Qadiriyah yang diasaskan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani. Di sana, Hamzah menerima baiat dan ijazah sebagai mursyid dalam tarekat tersebut, menjadikannya salah seorang sufi Nusantara pertama yang berguru langsung di kota suci itu.
Selain di Baghdad, Hamzah Fansuri disebut pernah berkelana hingga ke Mekah, Siam, dan India. Dari pengembaraannya itu, ia menguasai banyak bahasa asing seperti Arab, Persia, Siam, Hindi, dan Jawa. Kecakapannya berbahasa ini membuat karya-karya tulisnya sarat istilah dari berbagai bahasa, tetapi tetap bertumpu pada kekayaan bahasa Melayu.
Pengaruh pemikiran Hamzah Fansuri dalam tasawuf Nusantara sangatlah kuat. Ia dikenal sebagai pengikut paham Wahdatul Wujud, ajaran filsafat ketuhanan yang menekankan kesatuan antara makhluk dengan Sang Khalik. Ajaran ini didasarkan pada pemikiran Ibn Arabi dan berkembang luas di dunia Islam, termasuk di Nusantara berkat peran Hamzah Fansuri dan murid-muridnya.
Berbeda dengan tokoh sufi Aceh lain seperti Syamsuddin Pasai yang menganut ajaran martabat tujuh, Hamzah Fansuri justru lebih condong pada ajaran martabat lima. Perbedaan ini kelak memunculkan perdebatan tajam di kalangan ulama Aceh. Salah satu yang paling keras menentang ajaran Hamzah adalah keponakannya sendiri, Syekh Abdurrauf Fansuri, yang lebih dikenal sebagai Teungku Syiah Kuala.
Meski mendapat tentangan, karya-karya Hamzah Fansuri tetap lestari. Ia dikenal sebagai penyair sufi pertama yang menulis syair dalam bahasa Melayu. Syair-syairnya yang bernapas tasawuf menampilkan gaya bahasa yang indah sekaligus penuh makna spiritual. Gaya penulisan ini kemudian banyak ditiru sastrawan-sastrawan sesudahnya.
Banyak peneliti meyakini, melalui karya-karyanya, Hamzah Fansuri telah meletakkan fondasi awal bagi perkembangan bahasa dan sastra Melayu klasik. Dialek Melayu Barus yang digunakannya dalam syair-syair dianggap sebagai salah satu ragam bahasa Melayu tertua dan termurni yang pernah tercatat.
Dalam dunia kesusastraan, Hamzah Fansuri disebut sebagai "Bapak Sastra Melayu" karena keberaniannya menuliskan gagasan-gagasan sufistik dalam bentuk syair yang mudah dipahami masyarakat awam. Syair-syairnya menjadi media dakwah tasawuf sekaligus memperkaya khazanah bahasa Melayu dengan istilah-istilah filsafat Islam yang belum pernah dipakai sebelumnya.
Beberapa karya Hamzah Fansuri yang masih dapat ditemukan hingga kini di antaranya adalah Syair Perahu, Syair Burung Pingai, dan Syair Sidang Fakir. Karya-karya ini tidak hanya memuat ajaran tasawuf, tetapi juga berisi nasihat kehidupan, ajakan untuk bertafakur, serta peringatan tentang kefanaan dunia.
Abdul Hadi W.M., seorang guru besar Universitas Paramadina, dalam penelitiannya menyebutkan bahwa Hamzah Fansuri bukan saja mewariskan ajaran tasawuf, melainkan juga turut membentuk standar sastra Melayu klasik. Menurutnya, karya Hamzah adalah contoh terbaik bahasa Melayu Barus yang unggul di masanya, sejajar dengan dialek Melayu Malaka dan Pasai.
Pengaruh ajaran Hamzah Fansuri tidak berhenti di Aceh. Pemikiran dan karya-karyanya menyebar hingga ke Semenanjung Malaya, Kalimantan, dan kawasan Melayu lainnya. Banyak salinan syairnya ditemukan di berbagai manuskrip lama, menunjukkan betapa luasnya pengaruh intelektualnya di dunia Melayu.
Walau kehidupannya diselimuti misteri, jejak intelektual dan spiritual Hamzah Fansuri masih bisa ditelusuri lewat karya-karyanya yang diwariskan lintas zaman. Ia bukan hanya seorang penyair, melainkan juga pembaharu pemikiran yang berani menampilkan ajaran filsafat Islam dalam bahasa lokal.
Keberanian Hamzah Fansuri menulis ajaran Wahdatul Wujud dalam bahasa Melayu sempat membuatnya diburu oleh para ulama konservatif. Salah satunya Nuruddin ar-Raniri yang pernah mengecam ajaran Fansuri dan murid-muridnya sebagai sesat. Meskipun demikian, pengaruh Hamzah tetap kuat dan tak pernah benar-benar padam.
Hingga hari ini, Hamzah Fansuri tetap dikenang sebagai sosok yang membawa bahasa Melayu ke tingkatan sastra yang tinggi. Ia berhasil memadukan ajaran spiritual dengan estetika bahasa yang halus dan puitis, menjadikannya salah satu pelopor kesusastraan Islam di Asia Tenggara.
Meski keberadaannya pernah dihapus dari sejarah resmi Aceh, nama Hamzah Fansuri kini kembali diangkat dan dihargai sebagai tokoh penting dalam sejarah intelektual Melayu. Melalui syair-syairnya, nilai-nilai ketuhanan, filsafat hidup, dan pesan moralnya terus hidup dalam ingatan masyarakat hingga hari ini.
Baca:
1. https://en.m.wikipedia.org/wiki/Po_Rome
2. https://en.m.wikipedia.org/wiki/Po_Nraup
3. https://repositori.kemdikbud.go.id/8144/1/BATU%20NISAN%20HAMZAH%20FANSURI.pdf
4. https://repository.bbg.ac.id/bitstream/629/1/Hamzah_Fansuri_Penyair_Sufi_Aceh.pdf
5. https://agil-asshofie.blogspot.com/2011/06/hamzah-fansuri.html
6. https://www.acehtrend.com/news/hamzah-fansuri-terpapar-di-negeri-aceh/index.html
7. http://bakkara.blogspot.com/2006/06/kapur-dari-barus-hamzah-dari-fansur.html
8. https://www.slideshare.net/slideshow/biografi-syeikh-hamzah-fansuri/86290636
9. https://khazanah.republika.co.id/berita/pmqrd4458/syekh-hamzah-fansuri-bapak-bahasa-dan-sastra-melayu
10. https://www.inilah.com/kisah-hidup-dan-kontroversi-hamzah-fansuri
11. https://www.facebook.com/share/p/1BwPfDKjq2/
12. https://www.facebook.com/share/p/1BdBzHPMX2/
13.
https://www.facebook.com/share/p/1Dr1q8L1VQ/
0 comments:
Post a Comment